Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Penyematan nama tersebut bukan tanpa alasan. Sebagian besar masyarakat Indonesia bercocok tanam sebagai mata pencarian mereka. Jelas saja para petani Indonesia sangat bergantung pada lahan yang akan mereka garap.
Namun, apa jadinya jika lahan pertanian semakin menyusut? Salah satu penyebab menyusutnya lahan pertanian di Indonesia adalah pengalihfungsian lahan tersebut. Pembangunan hotel, apartemen, dan bandara misal. Mengutip detik.com, rata-rata setiap tahunnya 50 ribu hektar lahan pertanian dikeringkan untuk dijadikan areal industri. Sehingga lahan yang dianggap strategis dipaksa untuk mengalah. Mereka (Pemerintah terkait dan investor, red) melakukan hal tersebut dengan dalih pembangunan.
Permasalahan lain muncul. Masyarakat yang tidak setuju lahannya digusur, akan bersikukuh mempertahankan hak miliknya. Mata petani tidak akan hijau walau di iming-imingi dengan uang. Bertani bagi petani merupakan pekerjaan yang mulia. Bercocok tanam merupakan identitas masyarakat kita.
Tanpa lahan, petani akan kesulitan mencari penghidupan—apalagi bercocok tanam merupakan warisan leluhur kita. Jika lahan hilang anak cucu mereka makan apa? masa depan mereka bagaimana? lalu apakah sekarung uang bisa membuat mereka bahagia? Pertanyaan tersebut harusnya menjadi pertimbangan pemerintah kita. Agar petani tidak kehilangan mata pencarian utama mereka.
Penggusuran berdalih pembangunan terus menuai pro dan kontra. Beberapa daerah yang terkena dampak penggusuran dengan dalih pembangunan adalah masyarakat Temon, Kulon Progo, Yogyakarta dan Sukamulya, Majalengka Jawa Barat. Dua daerah tersebut memiliki kesamaan. Masyarakat diatas menolak lahannya digusur untuk pembangunan bandara Internasional. Penolakan tersebut terus dilakukan hingga saat ini. Bahkan demi mempertahankan tanah hak miliknya mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian.
Baru-baru ini enam petani Sukamulya ditahan pihak kepolisian. Alasan penahan karena mereka dianggap sebagai provokator dalam aksi yang dilakukan. Saat Pemerintah terkait hendak melakukan pengukuran tanah, ratusan masyarakat yang menolak melakukan aksi di tengah sawah. Anehnya lagi ribuan aparat bersenjata telah berjaga-jaga di lokasi. Suasana pecah ketika aparat menembakan gas air mata ke arah kerumunan massa. Sontak hal tersebut membuat massa berhamburan. Beberapa petani yang tertangkap diatas juga mengalami lebam dibagian wajah.
Lahan petani di Sukamulya direncanakan akan dibangun Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Menurut data BPJS sebanyak 4.693 jiwa dengan 1.595 keluarga daerah tersebut akan kehilangan mata pencarian. Padahal sebagian besar pekerjaan masyarakat Sukamulya adalah bercocok tanam. Namun, dengan adanya rencana penggusran tersebut akan mengancam masyarakat Sukamulya.
Pun sama halnya dengan masyarakat Temon, Kulon Progo. Mereka juga menolak adanya pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo (New Yogyakarta Internasional Airport). Untuk membangun bandara tersebut akan memakan lahan hijau sekitar 111 hektar. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulonprogo, Bambang Tri Budi Harsono memprediksi, dalam waktu lima tahun ke depan lahan pertanian di wilayah tersebut akan berkurang hingga 300 hektar.
Maka para petani akan kehilangan lahan serta mata pencarian meraka. Tidak hanya itu saja para petani juga harus rela direlokasi. Sebab pembangunan bandara tersebut juga akan memakan lahan pemukiman warga. Terdapat sekitar 2875 Kepala Keluarga atau 11.501 jiwa yang akan terkena dampak penggusuran.
Konsep kedaulatan pangan yang di gadang-gadang Pemerintahan Jokowi-JK yang termaktub dalam Nawacitanya perlu dipertanyakan. Penggusuran demi penggusuran lahan produktif terus terjadi di Tanah Air. Berdasarkan data Serikat Petani Indonesia, selama tahun 2007 saja tercatat 76 kasus konflik agraria di Indonesia.
Lebih dari 196.179 hektar lahan petani dirampas dan lebih dari 24.257 KK petani terusir dari lahan pertaniannya Jika lahan pertanian terus dikikis, maka kedaulatan pangan yang di cita-citakan akan sia-sia belaka. Belum lagi masyarakat yang kehilangan mata pencarian hanya akan menambah daftar pengangguran.
Pemerintah seharusnya turun langsung ke lapangan melihat realitas yang ada. Para petani puluhan tahun bercocok tanam. Namun, tiba-tiba datang investor mematok tanah hak milik mereka dengan dalih pembangunan. Sungguh malang nasib para petani Indonesia. Mereka harus mati-matian membela tanahnya dari penggusuran lahan.
*Data dikutip dari berbagai sumber