Kamis, 18 Januari 2018

Penulis Harus Mau Jadi Marketing Bukunya, Kenapa?

image_title
“Nulis buku itu susah, Mbak. Kenapa harus pakai belajar jualan buku lagi?”
Hiks, benar. Itu perkataan yang benar. Dulu saya juga berpikir seperti itu. Nulis buku itu susah. Susahnya setengah mati, apalagi kalau menulis tidak ingin menulis asal saja, dan berjuang dengan riset. Maka setelah buku selesai ditulis, lalu penerbit mau menerima, rasanya plong yang ada di hati.
Lega. Iya, lega selega-seleganya.
Kita berharap, sih, sama seperti penulis di luar negeri yang jadi rujukan kita. Bisa plesiran ke mana saja, setelah bukunya selesai dicetak.
Kita mulai membandingkan kenikmatan, tapi tidak berjuang menuju satu titik kualitas yang sama.

Dulu Bukan Sekarang
Dulu, pada zaman kita belum diserbu tekhnologi, dan ketika tidak semua orang paham dunia menulis, menulis adalah sebuah bentuk ekspresi yang menyenangkan. Pengalaman dan isi hati kita, bisa bebas kita tulis, tanpa kita dituntut kelihatan identitasnya.
Maka biasanya para penulis yang muncul dari masa lalu, adalah penulis yang kebanyakan pemalu dan takut muncul di publik, termasuk saya.
Tapi dulu bukan sekarang.
Dulu media cetak masih jadi andalan. Telepon genggam ada tapi yang memiliki hanya segelintir orang saja. Untuk mendapatkan nomor pun, harus antri panjang. 16 tahun yang lalu nomor saya, saya beli seharga 250 ribu rupiah.
Dulu, para remaja menunggu media remaja, para orangtua menunggu harian dan para ibu menunggu tabloid. Semua sumber bacaan dari media cetak. Ada masa di mana pada sore hari, kalau di keluarga saya, kita akan berkumpul, dan masing-masing membawa bacaannya, lalu keluarlah banyak sekali perbincangan dari apa yang kita baca.
Sekarang?
Sekarang perbincangan dan diskusi banyak diambil dari berita-berita pendek dari timeline dan status orang lain. Saya masih berjuang mengambil buku untuk dibawa ke ajang diskusi dengan anak-anak dan pasangan. Dan sungguh, itu terasa melelahkan.
Karena itu, saya minta ada satu hari untuk anak-anak fokus membaca dan menulis yaitu di hari Sabtu.
Kondisi sekarang berbeda.
Media cetak satu persatu gugur. Karena industri mulai berpihak ke dunia digital, yang setiap individu memegang minimal satu.
Saya ingat perbincangan dua tahun yang lalu, ketika pemilik majalah Luar Biasa seorang motivator ingin menutup majalah. Ada satu pendapat dari seorang agen majalah yang sudah puluhan tahun berada di bidang tersebut. Beliau bilang kondisi memang seperti itu. Satu persatu kios media ditutup dan diganti dengan kios pulsa. Maka bisnis yang menjamur adalah bisnis pulsa.
Penerbit?
Penerbit masih ada. Tapi penerbit tidak mungkin menerbitkan sebuah naskah, tanpa proyeksi pada keuntungan. Untuk buku-buku yang kira-kira agak sulit untuk diterbitkan, semisal buku non fiksi dengan ukuran tebal, ada penerbit yang bertanya lebih dahulu, penulis bisa membeli berapa buku nanti jika buku itu terbit?
Seram pertanyaan itu?
Iya seram sekali untuk saya pertama kali. Meskipun tanpa ditanyai seperti itu, saya biasa membeli buku dari penerbit hingga 100 buku untuk dijual kembali. Kebetulan saya punya marketing sendiri, yang memasarkan dari satu sekolah ke sekolah lain.
Tapi ya itu. Saya tidak berani memasang target, takut target itu meleset jauh.
Belum lama ketika ada naskah yang di acc, saya juga ditanya, berani beli berapa buku? Dengan keyakinan penuh, saya bilang saya bisa beli 100 buku.
Kenapa saya berani?
Satu buku saya, saya endapkan cukukp lama. Lama sekali. Saya riset lama, lama sekali. Lalu ketika di acc penerbit, ternyata komunikasi lancar. Saya melihat proses bukunya, dan akhirnya saya jatuh cinta. Proses jatuh cinta, itu jadi semakin cinta ketika melihat hasilnya. Sebuah buku yang memang sesuai dengan apa yang ada di otak saya. Design huruf, warna buku dan tampilan covernya memang benar-benar sesuai yang saya inginkan.
Ketika sampai pada proses akhirnya buku itu sudah dicetak dan saya pegang, saya bertambah cinta. Melihat satu persatu halamannya, saya semakin cinta.
Dan saya memang berjuang menjual buku itu, baik secara online maupun secara offline. Target 100 buku akhirnya bisa saya penuhi, dan sampai sekarang saya terus memesan ke penerbit buku itu, karena ada teman-teman yang masih menanyakan buku itu.
Buku hasil jerih payah dan keringat saya, kenapa saya mesti malu menjualnya? Apalagi kiri kanan atas bawah, kita digempur oleh buku yang lain yang bisa jadi lebih merusak moral anak-anak kita.
Tekhniknya Pembelian Buku Seperti Apa?
“Tapi, Mbak, aku enggak punya uang untuk beli buku aku?”
Ada pertanyaan seperti itu.
Oh, membeli 100 buku langsung juga tidak saya lakukan. Tapi step by step saya melakukannya.
1. Untuk penerbit yang memberikan DP royalti, maka biasanya, saya tidak ambil uang DP itu. Saya minta agar uang itu diputar dalam bentuk buku.
Bukunya datang, bisa saya jual.
2. Untuk penerbit yang tidak pakai DP, saya membelinya pelan-pelan. Misalnya 20 buku dulu. Setelah 20 buku itu laku, uangnya saya putar lagi, untuk membeli buku yang lain.
3. Ada juga penerbit yang membolehkan membeli buku, dengan dipotong uang royalti kita nanti. Nah itu juga sangat memudahkan penulis yang tidak pegang uang cash pada saat itu.
Tidak akan rugi kok kita membeli buku kita sendiri.
Dari situ kita akhirnya bisa menyortir, buku apa yang harus kita tulis, sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan isinya di mata pembaca dan di mata Allah kelak.

0 komentar:

Posting Komentar

Petani Digusur, Indonesia Darurat Agraria

Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Penyematan nama tersebut bukan tanpa alasan. Sebagian besar masyarakat Indonesia be...